Membangun kebiasaan yang baik dan mempertahankannya merupakan kunci pertumbuhan dan kesuksesan. Sayangnya, tidak banyak orang yang bisa. Termasuk mempertahankan amalan Ramadan semisal qiyamul lail dan tilawah. Karenanya, tidak sedikit panitia meminta materi istiqamah untuk halalbihalal yang mereka selenggarakan.

Saya yakin, Ramadan merupakan peak performance bagi mayoritas muslim. Banyak muslim yang berhasil memulai kebiasaan baik melalui momentum Ramadan. Yang tadinya jarang shalat jamaah, Ramadan bisa. Yang tadinya jarang tilawah, Ramadan khatam. Yang tadinya sulit bangun, Ramadan qiyamul lail penuh. Yang menjadi masalah, selepas Ramadan kebiasaan baik itu menguap begitu saja. Bagaimana mempertahankannya?

Istiqamah, istilahnya. Tetap dalam keimanan dan mempertahankan semangat ibadah. Tidak hanya memulai kebiasaan yang baik tetapi juga mempertahankannya. Ada empat langkah sederhana agar kita bisa membangun kebiasaan yang baik dan mempertahankannya. Keempat langkah itu adalah isyarah, ghirah, ijabah, dan mukafa’ah. Bisa kita singkat menjadi I-GIM.

Isyarah

Isyarah (إشارة) adalah petunjuk untuk memulai perilaku. Dalam pendekatan iman kepada takdir, petunjuk untuk memulai perilaku adalah hidayah dari Allah. Namun, dalam pendekatan ikhtiar basyari, isyarah adalah bagaimana kita menghadirkan informasi yang membuat kita terpicu untuk memulai. Charles Duhigg dalam The Power of Habit dan James Clear dalam Atomic Habits menyebutnya sebagai cue.

Maka, isyarah dimulai dari azam atau niat lalu menjadikan agar petunjuk itu terlihat. Pertama, muhasabah berbasis Surah Al-Hasyr ayat 18. Yakni dengan menulis daftar kebiasaan yang kita lakukan lalu memberikan penilaian mana yang positif, mana yang negatif, mana yang netral. Yang positif akan kita teruskan, yang negatif akan kita tinggalkan. Misalnya:

  • Bangun tidur (+)
  • BAK (=)
  • Wudhu (+)
  • Shalat tahajud (+)
  • Shalat Subuh berjamaah (+)
  • Tidur lagi (-)
  • Dan seterusnya.

Kedua, merumuskan azam membangun kebiasaan dengan menyertakan waktu dan lokasi yang jelas. Misalnya: “Aku akan sholat tahajud dua rakaat jam 3 di mushala rumah.”

Ketiga, mengimplementasikan faidza faraghta fanshab dengan merumuskan kebiasaan baru setelah kebiasaan sekarang. Misalnya: “Setelah shalat Subuh, aku akan tilawah.”

Keempat, merancang lingkungan agar petunjuk mudah terlihat. Misalnya untuk membangun kebiasaan membaca, letakkan buku di ruang keluarga dan di kamar. Buatpula konteks untuk setiap tempat. Misalnya mushala rumah untuk shalat sunnah, munajat, dan tilawah. Ruang kerja untuk kerja. Ruang keluarga untuk santai. Kalau ruangan di rumah terbatas, tentukan dengan sudut atau kursi tertentu.

Ghirah

Secara bahasa, ghirah (غيرة) adalah cemburu. Namun, secara terminologis, ghirah adalah semangat yang membara. Dengan kata lain, motivasi yang menjadi kekuatan penggerak di balik setiap kebiasaan atau amalan. Jika isyarah menjadikan kebiasaan baik terlihat, ghirah menjadikannya menarik.

Untuk bisa membangun kebiasaan yang baik dan istiqamah dalam ibadah, kita perlu mengetahui fadhilah-nya. Ahlamdulillah, hampir setiap ibadah dan amal shalih dalam Islam ada ayat Al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan fadhilah-nya. Kita bisa lebih mudah mendapatkannya dalam kitab fadha’ilul a’mal yang telah disusun oleh para ulama. Misalnya Riyadhush Shalihin karya Imam Nawawi dan Shahih At-Targhib wa At-Tarhib karya Syekh Nashiruddin Al-Albani.

Memahami fadha’ilul a’mal ini lebih fundamental daripada mengetahui AMBAK (apa manfaatnya bagiku) yang diperkenalkan oleh Bobbi DePorter dalam Quantum Learning.

Selain itu, lingkar pertemanan kita juga sangat menentukan. Umumnya, manusia akan meniru kebiasaan yang dilakukan oleh orang yang akrab dengannya, meniru orang banyak atau mayoritas, dan meniru orang yang sukses atau berkuasa. Maka, pastikan memilih komunitas dan lingkar pertemanan yang mendukung kebaikan.

Ijabah

Langkah ketiga adalah respon (ijabah) terhadap ghirah. Artinya, setelah memiliki motivasi, segera beraksi. Segera lakukan kebiasaan baik dan pertahankan. Agar bisa istiqamah, ijabah (إجابة) adalah menjadikan kebiasaan baik itu mudah. Rumusnya adalah sabda Rasulullah:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Amal yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amal yang berkelanjutan walaupun itu sedikit. (HR. Muslim)

Yang penting dalam membangun kebiasaan baik bukanlah seberapa lama durasinya tetapi seberapa sering pengulangannya. Meskipun sebentar, lakukan setiap hari secara berkelanjutan sehingga menjadi kebiasaan yang otomatis jadi amal harian. Setengah juz setiap hari lebih baik daripada 10 juz tapi hanya satu bulan sekali.

Dalam tahap ini, kondisikan lingkungan agar kebiasaan baik mudah dilakukan dan dipertahankan. Misalnya membeli mushaf yang nyaman untuk kebiasaan tilawah, menyediakan buku baru untuk kebiasaan membaca, dan memindahkan televisi dari kamar untuk istirahat yang lebih baik.

Mulai dari hal kecil segera tanpa menunda. Misalnya bersegera mengambil mushaf untuk memastikan kebiasaan tilawah. Mulai membaca satu halaman untuk memastikan membaca tiap malam berjalan.

Mengoptimalkan teknologi untuk mengunci kebiasaan baik juga perlu. Misalnya berlangganan artikel tausiyah, menghapus game dan aplikasi yang tidak bermanfaat, serta mematikan notifikasi media sosial.

Mukafa’ah

Mukafa’ah (مكافأة) artinya adalah reward. Yakni membuat kebiasaan baik itu memuaskan. Sebab manusia relatif lebih suka mengulang perilaku ketika pengalamannya memuaskan. Maka, pada langkah ini, rasakan kesuksesan langsung meskipun kesuksesan itu kecil.

Kita mungkin akan berpikir, bukankah balasan amal akan kita dapatkan nanti di akhirat? Ya, benar. Memang balasan sesungguhnya dari ibadah dan amal shalih kita berupa pahala dan surga baru kita terima nanti di akhirat. Namun, di dunia ini kita juga akan mendapatkan bagiannya. Yakni berupa kebahagiaan dan manisnya ibadah. Sebagaimana maqalah sebagian ulama:

إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلُهَا لَمْ يَدْخُلُ جَنَّةَ الْآخِرَةِ

“Sesungguhnya di dunia ini terdapat surga, barangsiapa yang tidak memasukinya maka ia tidak akan memasuki surga akhirat.”

Ibadah yang ikhlas, demikian pula kebiasaan baik yang berlandaskan cinta kepada Allah, akan mendatangkan kebahagiaan. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa seseorang yang memberi merasakan kebahagiaan yang lebih besar daripada orang yang menerima, jika ia tulus dalam berbagi.

Di antara perasaan yang memuaskan adalah perasaan bahwa kita mengalami kemajuan. Maka, hadirkan perasaan itu dengan cara membandingkan diri kita sekarang dengan diri kita di masa lalu. Jangan membandingkan diri kita dengan orang lain.

Selain itu, sekali-kali juga perlu memberikan reward atas kemajuan kita. Tentunya dengan reward yang semakin memacu kebiasaan baik kita. Misalnya saat berhasil menyelesaikan membaca sebuah buku, reward-nya adalah membeli buku baru. Ketika puasa sunnah, reward-nya adalah makanan yang lebih lezat untuk berbuka.

Ketika empat langkah ini –isyarah, ghirah, ijabah, mukafa’ah– kita lakukan secara simultan, kita akan menjadi orang yang berhasil dalam membangun kebiasaan baik dan mempertahankannya. Insya Allah kita akan menjadi orang yang istiqamah dalam ibadah. Bertambah baik dari waktu ke waktu dan akan terkejut betapa dahsyatnya pertumbuhan kita 10 atau 15 tahun mendatang.

Jika suatu saat terkendala dalam menjalankan kebiasaan, segeralah kembali kepada kebiasaan baik itu tanpa mengulangi kesalahan. Dan tetaplah hadirkan perasaan bahagia sebab orang yang terkendala sakit atau safar, ia tetap mendapat pahala kebiasaan yang ia lakukan.

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Apabila seorang hamba sakit atau bepergian, dicatat (amalannya) seperti apa yang ia kerjakan ketika dia bermukim dan sehat. (HR. Bukhari)

Masya Allah, ternyata luar biasa pahala yang akan kita dapatkan saat kita istiqamah. Berhasil mempertahankan ibadah dan kebiasaan baik yang telah kita mulai. Semoga Allah mengistiqamahkan kita dalam keimanan dan ibadah, hingga kelak kita mendapat husnul khatimah dan tempat kembali kita adalah jannah. [Muchlisin BK/Edupro]