Islam bukanlah agama yang menjadikan pemeluknya hanya beribadah ritual lalu tidak bekerja. Islam juga bukan agama yang membuat manusia malas berusaha. Sebaliknya, Islam memotivasi umatnya untuk bekerja keras dan berjuang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat juga menunjukkan keteladanan yang luar biasa dalam kerja keras dan berjuang hingga umat Islam menjadi pembangun peradaban dan meraih kejayaan.

Mengapa Harus Kerja Keras?

Secara sederhana, kerja keras adalah bekerja dengan sungguh-sungguh atau mengerahkan seluruh energi untuk mencapai target pekerjaan. Dalam buku Kubik Leadership dijelaskan, kerja keras adalah bentuk usaha terarah dalam mendapatkan sebuah hasil dengan menggunakan energi sendiri sebagai input (modal kerja).

Mengapa kita harus kerja keras? Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melihat setiap amal atau pekerjaan kita. Lalu Allah akan memperlihatkan pekerjaan itu dan memberikan balasan atas apa yang kita kerjakan.

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memotivasi umatnya untuk bekerja keras. Dengan bekerja, ia akan mendapatkan penghasilan. Dengan penghasilan itu, ia akan hidup mandiri. Tidak menggantungkan diri kepada orang lain. Tidak meminta-minta. Maka, apa yang ia makan dari hasil pekerjaannya sendiri merupakan makanan terbaik baginya.

مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَمَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَخَادِمِهِ فَهُوَ صَدَقَةٌ

Tidak ada seorang pun yang berusaha mencari penghasilan yang lebih baik daripada hasil kerja tangannya sendiri. Dan apa saja yang dibelanjakan oleh seseorang untuk dirinya, keluarganya, anaknya, dan pembantunya, maka itu menjadi sedekah. (HR. Ibnu Majah; shahih)

Dan seperti hadits di atas, dengan bekerja, seorang muslim bisa memberikan nafkah kepada istri, anak, keluarga, dan pembantunya. Seluruh nafkah itu menjadi sedekah baginya. Apalagi jika dengan kerja keras ia mendapatkan lebih banyak penghasilan untuk zakat dan berinfak, tentu pahalanya akan menjadi lebih banyak.

Pernah seorang laki-laki Anshar menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia mengadukan kemiskinannya dan meminta sesuatu untuk mencukupi kebutuhannya. Namun, Rasulullah melihat laki-laki ini sebenarnya kuat untuk bekerja.

“Apakah engkau memiliki sesuatu di rumah?”
“Ya, saya punya kain untuk alas duduk dan sebuah wadah untuk minum.”
“Bawalah kemari,” pinta Rasulullah.

Setelah laki-laki itu kembali dengan membawa barangnya, Rasulullah melelangnya kepada para sahabat. Laku dua dirham.

“Belilah makanan untuk keluargamu dengan satu dirham. Sedangkan satu dirham lainnya belikan kapak lalu bawa kapak itu kemari.”

Satu masalah selesai. Keluarganya bisa makan. Kapak juga sudah di tangan. Ia kembali menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

“Pergilah ke lembah, carilah kayu bakar dan juallah.”

Dua pekan kemudian, laki-laki tersebut menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa uang 10 dirham. Rasulullah senang melihatnya lalu bersabda, “Hal itu lebih baik bagimu daripada meminta-minta.”

Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِىَ بِحُزْمَةِ الْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكُفَّ اللَّهُ بِهَا وَجْهَهُ ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa ‎utas tali, lalu ia kembali dengan memikul ‎seikat kayu bakar dan menjualnya sehingga dengan hasil itu Allah ‎mencukupkan kebutuhan hidupnya. Itu lebih baik baginya daripada ‎meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberinya ataupun ‎tidak. (HR. Bukhari)

Selain itu, dengan bekerja keras, berarti seseorang telah bersyukur atas potensi yang Allah berikan kepadanya. Dengan bekerja keras, ia bisa lebih bermanfaat untuk sesama manusia. Dan dengan kemanfaatan itu, dirinya semakin baik di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعَهُمْ لِلنَّاسِ

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama manusia. (HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni, dan As-Suyuthi; hasan)

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعَهُمْ لِلنَّاسِ

Manusia yang paling Allah cintai adalah yang paling bermanfaat bagi sesama manusia. (HR. Thabrani; hasan)

Setelah melakukan penelitian bertahun-tahun di akademi militer Amerika Serikat (AS) West Point, Angela Duckworth kemudian menulis buku Grit. Menurut penelitian itu, kunci kesuksesan bukanlah bakat tetapi grit: perpaduan antara passion dan kegigihan. Grit tentu saja membutuhkan kerja keras.

Ciri Pekerja Keras

Pekerja keras setidaknya memiliki empat ciri. Yakni Stamina diri (endurance), Disiplin (discipline), Keberdayagunaan (resourcefullness), dan Ketersediaan diri (availability).

Orang yang memiliki stamina diri (endurance) yang baik, iatidak mudah lelah, tidak ngantukan, konsentrasi cenderung sama baik saat memulai maupun mengakhiri jam kerja.

Pekerja keras juga disiplin (discipline). Ia masuk kerja tepat waktu, pulang kerja tepat waktu, bahkan siap lembur jika memang perlu. Ia juga mematuhi aturan dan tidak ingin ada bagian pekerjaannya yang tidak selesai atau terbengkalai.

Keberdayagunaan (resourcefullness) bagi seorang pekerja keras adalah keniscayaan. Bagaimana dia selalu berdaya guna dalam setiap kondisi. Konsentrasi dan kualitas kerja tetap prima meskipun menghadapi kondisi, situasi, dan suasana hati yang berbeda. Misalnya setelah dimarahi bos, ia bertemu bawahannya. Meskipun habis dimarahi bos, hal itu tidak mengganggu kinerjanya, tidak pula kemudian melampiaskan kemarahan kepada bawahannya.

Para pekerja keras juga selalu siap sedia kapan pun terutama saat jam kerja. Ia memiliki ketersediaan diri (availability) yang baik sehinggaselalu ada ketika dibutuhkan oleh pimpinan. Siap ketika rekan minta bantuan. Hadir ketika bawahan perlu bimbingan.

Baca juga: Maiyatullah

Meningkatkan Stamina Diri

Bagaimana cara meningkatkan stamina diri? Setidaknya ada empat olah yang bisa kita lakukan: olah napas, olah raga, olah makan, dan olah dzikir.

1. Olah napas

Tubuh kita membutuhkan asupan oksigen yang cukup. Pernapasan yang baik membuat kita mendapatkan asupan oksigen yang cukup. Hal ini akan memaksimalkan fungsi sel-sel tubuh dan memaksimalkan energi yang kita hasilkan.

Cara mudah olah napas adalah dengan pernapasan 1-4-2. Caranya, lakukan 10 pernapasan 3 kali sehari dengan rasio:

  • Tarik napas dengan hitungan rasio 1 (misal 3 detik)
  • Tahan napas dengan hitungan rasio 4 (berarti 12 detik)
  • Buang napas dengan hitungan rasio 1 (misal 6 detik)

2. Olah raga

Lakukan olah raga secara teratur. Bisa olah raga ringan misalnya jalan kaki, senam, atau swaiso. Olah raga tidak hanya menguatkan stamina kita tetapi juga investasi untuk usia tua nanti.

3. Olah makan

Pola makan kita juga berpengaruh pada stamina diri. Untuk mendapatkan stamina diri yang baik, kita perlu menerapkan pola makan seimbang. Yakni perbandingan karbohidrat 65%, protein 20%, dan lemak 15%.

Kombinasi makanan yang tepat (food combining) juga merupakan metode yang baik. Yakni tidak menggabungkan protein dan karbohidrat dalam satu hidangan sebab kedua jenis makanan tersebut membutuhkan dua enzim berbeda untuk mencernanya.

Jangan lupa, perbanyak minum air dan makan makanan yang mengandung air sebab tubuh kita terdiri dari 70% air. Makanan yang mengandung banyak air adalah sayur dan buah-buahan.

4. Olah dzikir

Untuk menjaga stamina, ada olah berikutnya yang sering terlupakan yakni olah dzikir. Salah satunya adalah dzikir sebelum tidur yang di antara keutamannya adalah memberikan kekuatan sehingga tidak mudah lelah. Dzikir itu adalah tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 33 kali.

Pernah Fatiman kelelahan mengerjakan berbagai urusan domestik. Lalu bersama Ali, ia menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Fatimah berharap sang ayah akan memberinya seorang pembantu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda:

أَلاَ أَدُلُّكُمَا عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ ، إِذَا أَوَيْتُمَا إِلَى فِرَاشِكُمَا ، أَوْ أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا ، فَكَبِّرَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ، وَسَبِّحَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ، وَاحْمَدَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ ، فَهَذَا خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ

Maukah kalian berdua aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik bagi kalian daripada pembantu? Apabila kalian akan pergi tidur—atau apabila kalian berdua telah berbaring–, ucapkanlah takbir sebanyak 33 kali, ucapkanlah tasbih sebanyak 33 kali, dan ucapkanlah tahmid sebanyak 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian berdua daripada pembantu. (HR. Bukhari)

Meningkatkan Disiplin

Bagaimana cara meningkatkan disiplin? Setidaknya ada empat langkah juga. Pertama, temukan WHY-nya. Yakni alasan kuat mengapa harus disiplin. Bahwa disiplin itu mendatangkan cinta Allah, disiplin itu mendatangkan cinta manusia, dan disiplin itu investasi untuk tercapainya cita-cita kita.

Kedua, tentukan tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Misalnya ingin menguasai bahasa asing atau meraih sertifikasi keahlian tertentu. Jika benar-benar ingin meraihnya, disiplin adalah keniscayaan. Setiap kali disiplin melemah, ingat kembali target-target yang ingin kita capai tersebut.

Ketiga, taati aturan. Disiplin itu patuh terhadap aturan. Jika kita berada di sebuah perusahaan, taati aturan perusahaan. Jika kita ingin menguasai bahasa asing, taati aturan dari tutor bahasa kita. Jika kita ingin mencapai target tertentu, taati perencanaan yang sudah kita rancang dengan baik.

Keempat, perbanyak berdoa. Hati manusia itu bolak-balik, yang berkuasa mengaturnya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mintalah kepadanya untuk menjaga hati kita sebagaimana Rasulullah memperbanyak doa:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu. (HR. Tirmidzi; shahih)

Jika ingin disiplin dalam hal apa pun, mintalah kepada Allah. Sebagaimana jika ingin disiplin dalam shalat, dan ini merupakan induk kedisplinan, Al-Qur’an mengajarkan doa:

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

Wahai Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, wahai Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (QS. Ibrahim: 40)

Meningkatkan Keberdayagunaan

Agar selalu berdayaguna, khususnya di tempat kerja, ada dua hal yang perlu dilatih. Pertama, latih kemampuan konsentrasi dalam jangka waktu lama. Kedua, kemampuan mengatur gelombang metafisik sesuai kebutuhan.

Latihan meningkatkan kemampuan konsentrasi ini bisa dimulai dengan menciptakan kondisi yang baik untuk konsentrasi misalnya merapikan tempat kerja dan menjauhkan hal-hal yang bisa merusak konsentrasi. Lalu meningkatkan daya konsentrasi dengan menghadirkan ketertarikan pada apa yang kita kerjakan, membagi pekerjaan menjadi beberapa bagian, membuat daftar urut pekerjaan (to do list), memulai dari yang paling mudah atau paling menyenangkan.

Latihan meningkatkan kemampuan mengatur gelombang metafisik bisa dimulai dari memahami gelombang otak. Ketika kita beraktivitas atau bekerja, umumnya kita hanya berada pada salah satu dari dua gelombang yaitu alfa dan beta.

Gelombang alfa kita butuhkan saat melakukan aktivitas yang membutuhkan kreativitas. Bermain bersama anak juga membutuhkan gelombang alfa agar kita bisa menikmati momen itu dan anak-anak merasa bahagia dengan kehadiran kita.

Gelombang beta terbagi menjadi tiga. Beta bawah (12-15 Hz) terjadi ketika kita memperhatikan dengan relaks. Ini kita butuhkan saat mendengar keluhan customer. Tidak perlu konsentrasi tinggi.

Beta tengah (15-18 Hz) terjadi ketika kita sedang fokus, konsentrasi, dan siaga penuh. Misalnya saat presentasi atau menganalisis masalah. Sedangkan beta atas (18-30 Hz) terjadi ketika kita berpikir lebih keras sampai “memeras otak” dan mendekati stres (ketegangan).

Nah, langkah berikutnya adalah bagaimana kita bisa melatih agar mudah beralih (switching) dari satu gelombang otak ke gelombang otak yang lain. Tiga hal yang bisa mempengaruhinya adalah suara yang kita dengar  dan aroma yang kita cium.

Mendengarkan tilawah yang merdu membuat kita mudah masuk ke gelombang beta bawah bahkan alfa. Mencium aroma lavender juga bisa membawa masuk ke gelombang alfa. Sedangkan aroma mawar bisa membawa ke beta tengah.

Selain itu, mengatur postur tubuh dan ekspresi wajah juga bisa mempermudah pindah gelombang otak. Duduk bersandar di kursi, mengambil napas panjang, lalu mengeluarkan pelan-pelan bisa membawa masuk ke gelombang alfa. Duduk tegak dengan memfokuskan pandangan kepada orang yang kita ajak komunikasi tetapi tetap santai akan membawa kita ke gelombang beta.

Baca juga: Makna La Ilaha Illallah

Meningkatkan Ketersediaan Diri

Untuk meningkatkan ketersediaan diri, ada tiga langkah yang perlu kita lakukan. Pertama, sadari bahwa kita punya banyak peran. Peran sebagai suami atau istri, sebagai ayah atau ibu, sebagai karyawan, dan sebagainya. Masing-masing peran tentu membawa hak dan kewajiban bagi kita. Sadari bahwa kita perlu menjalankan seluruh peran kita.

Kedua, rencanakan bagaimana cara kita membagi waktu menjalankan semua peran. Di tempat kerja, kita fokus pada peran di sana. Saat sudah di rumah, upayakan kita fokus pada peran keluarga atau kemasyarakat. Kecuali jika saat-saat tertentu pimpinan membutuhkan kita. Jangan dibalok-balik, saat kerja kita memikirkan rumah, saat di rumah kita justru menyelesaikan pekerjaan kantor yang terbengkalai.

Ketiga, latih daya empati agar bisa menjalankan semua peran. Di kantor, kita sigap berperan sebagai bawahan dari atasan. Namun, ketika bertemu dengan bawahan kita, kedepankan sikap sebagai pengayom dan pembimbing. Ketika di rumah, sebagai suami, kita berusaha menjadi pemimpin yang romantis. Sebagai istri, taat kepada suami. Sebagai orang tua, kita berusaha penuh kasih sayang kepada anak-anak kita. [Muchlisin BK/Edupro]