Niat merupakan kunci penentu sah tidaknya suatu ibadah. Juga merupakan kunci penentu apakah Allah akan menerima amal tersebut atau tidak. Hadits Arbain Nawawi ke-1 menjadi dalilnya.

Arbain Nawawi (الأربعين النووية) adalah kitab Imam An Nawawi rahimahullah yang menghimpun hadits-hadits pilihan. Jumlahnya hanya 42 hadits, tetapi mengandung pokok-pokok ajaran Islam.

Arbain Nawawi ke-1 dan Terjemah

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya semua amal tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. Maka, barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju. (HR. Bukhari dan Muslim)

Baca juga: Meningkatkan Kerja Keras

Penjelasan Hadits

Hadits pertama Arbain Nawawi ini merupakan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Gelar amirul mukminin baru populer setelah Umar menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar Ash Shiddiq radiyallahu ‘anhu. Abu Hafsin merupakan nama kunyah Umar.

Orang Arab biasa memiliki tiga nama. Nama ism, nama kunyah, dan nama laqab. Nama ism (اسم) adalah nama asli dan umumnya hanya satu kata. Misalnya Umar atau Utsman. Nama kunyah (كنية) adalah nama panggilan atau julukan yang sering kali terambil dari nama anak. Misalnya nama kunyah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu adalah Abu Abdillah. Menurut sebagian ulama, nama kunyah Umar dalam hadits ini juga terambil dari Hafshah putrinya. Namun, menurut sebagian ulama lainnya, Hafshin artinya singa. Umar mendapat nama kunyah itu karena ia kuat dan cepat seperti singa.

Nama laqab (لقب) adalah gelar yang tersemat pada seseorang karena karakter atau jasanya. Umar memiliki nama laqab Al-Faruq. Sedangkan Utsman memiliki laqab Dzunnurain.

Kata innama (إنما) merupakan adatul hashr (pembatas) yakni menetapkan sesuatu yang disebut setelahnya dan menafikan sesuatu yang tidak disebut.

Al-a’mal (الأعمال) merupakan bentuk jamak dari ‘amal (العمل) yakni perbuatan. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan amal di sini adalah perbuatan mukallaf (ibadah) sehingga perbuatan orang kafir tidak termasuk dalam kategori ini.

An-niyyaat (النيات) merupakan bentuk jamak dari niat (نية). Secara etimologi, niat adalah keinginan atau kehendak. Secara terminologi, niat adalah kehendak yang dibarengi dengan tindakan nyata. Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu menjelaskan bahwa menurut istilah syara’, niat adalah tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau yang lain.

Kata imri’in (امرئ) artinya adalah manusia baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan ma nawa (ما نوى) artinya apa yang ia niatkan atau apa yang ia tuju.

Kandungan Hadits dan Pelajaran Penting

Hadits ke-1 Arbain Nawawi ini memiliki kedudukan yang sangat penting. Imam Syafi’i mengatakan, “Hadits ini mencakup sepertiga ilmu karena perbuatan manusia terkait dengan tiga hal: hati, lisan, dan anggota badan. Sedangkan niat dalam hati merupakan salah satu dari tiga hal tersebut.”

Bahkan menurut Imam Abu Dawud, hadits ini merupakan separuh ajaran Islam. “Hadits ini setengah dari ajaran Islam. Sebab ajaran Islam bertumpu pada dua hal: sisi dzahiriyah (amal perbuatan) dan sisi batiniyah (niat).”

Berikut ini lima poin utama kandungan hadits Arbain Nawawi ke-1:

1. Niat menentukan sahnya ibadah

Kandungan pertama hadits ke-1 Arbain Nawawi ini merupakan penjelasan dari bagian pertama sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ

Sesungguhnya semua amal tergantung niatnya

Syekh Muhammad bin Abdullah Al-Jardani Al-Dimyati dalam Al-Jauhar Al-Lu’luiyah fi Syafah Al-Arbain An-Nawawiyah menjelaskan, amal ibadah itu bergantung pada niatnya. Amal tidak sah bila tanpa niat. Keberadaan amal secara syariat bergantung pada niatnya. Bila niat tidak ada, amal pun tidak ada.

Terjemah lainnya dari bagian pertama Arbain Nawawi hadits ke-1 ini adalah, sesungguhnya seluruh amal  ibadah harus disertai niat. Maka, tidak sah suatu ibadah tanpa niat. Misalnya, seseorang yang shalat tetapi tidak berniat shalat, maka shalatnya tidak sah. Bahkan niat shalat secara umum saja tidak sah untuk shalat fardhu, harus jelas niat shalat Zhuhur atau Ashar, misalnya. Demikian pula puasa, niat membedakan ibadah puasa dari sekadar tidak makan dan tidak minum untuk diet.

Namun, al-a’mal (الأعمال) yang secara harfiah berarti seluruh perbuatan maknanya adalah kebanyakan darinya, bukan benar-benar seluruhnya. Sebab ada amal-amal yang tetap sah meskipun tanpa niat. Misalnya adzan dan menghilangkan najis.

Ibadah inti tidak sah kecuali dengan niat. Misalnya shalat, puasa, dan haji. Niat menjadi rukun dari ibadah-ibadah tersebut. Sedangkan pada ibadah ghairu mahdlah, niat tidak menjadi rukunnya.

Para ulama berbeda pendapat apakah niat itu syarat atau rukun. Pendapat yang kuat sebagaimana Ibnu Hajar pilih, mengucapkan niat di awal ibadah adalah rukun, sedangkan menyertakan niat dalam ibadah adalah syarat.

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan, seluruh ulama sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Niat dengan hanya mengucapkan di lisan belum dianggap cukup. Melafazkan niat bukanlah suatu syarat. Namun, jumhur ulama selain mazhab Maliki berpendapat hukum melafazkan niat adalah sunnah, dalam rangka membantu hati menghadirkan niat. Sedangkan menurut madzhab Maliki, yang terbaik adalah tidak melafazkan niat karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

2. Niat menentukan diterimanya amal

Kandungan kedua Arbain Nawawi hadits ke-1 ini merupakan penjelasan dari bagian kedua sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

وَإِنَّمَا لكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.

Meskipun ada sebagian ulama yang menganggap kalimat kedua ini sama dengan kalimat pertama atau sebagai penjelasan tambahan, sesungguhnya makna kalimat kedua ini memiliki faedah yang berbeda dari kalimat pertama.

Niat seseorang melakukan apa adalah niat amal (النية العمل). Sedangkan niat menujukan amal untuk siapa adalah niat ma’mul lah (النية المعمول له). Kalimat kedua dalam hadits ini menjelaskan tentang niat ma’mul lah ini. Bahwa siapa yang ia tuju dalam niatnya akan menentukan apakah amalnya diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atau tidak.

Orang yang niatnya ikhlas semata karena Allah, Allah akan menerima ibadahnya. Sedangkan orang yang tidak ikhlas, Allah tidak akan menerima amalnya meskipun amal itu sah secara fiqih.

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ. قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِىَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِى الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً

“Sesungguhnya yang paling aku takuti atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Riya’. Allah Azza wa Jalla akan berfirman pada hari kiamat nanti ketika Dia memberikan ganjaran amal perbuatan hamba-Nya, ‘Pergilah kalian kepada orang yang kalian riya’ terhadapnya. Maka, lihatlah apakah kalian memperoleh balasan dari mereka?’” (HR. Ahmad; shahih)

Yang luar biasa, ketika kita bisa ikhlas, urusan dunia pun menjadi ibadah yang berpahala. Misalnya bekerja, mengasuh anak, hingga bercanda dengan istri. Bahkan, setiap niat baik langsung mendapatkan pahala meskipun kemudian tidak jadi terlaksana karena terkendala.

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِذَا تَـحَدَّثَ عَبْدِيْ بِأَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً ؛ فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ حَسَنَةً مَا لَـمْ يَعْمَلْ ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَأَنَا أَكْتُبُهَا بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا ، وَإِذَا تَـحَدَّثَ بِأَنْ يَعْمَلَ سَيِّـئَةً ، فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَهُ مَا لَـمْ يَعْمَلْهَا ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ بِمِثْلِهَا

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika hamba-Ku berniat mengerjakan kebaikan, maka Aku menuliskan baginya satu kebaikan selagi ia tidak mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakannya, Aku menuliskan baginya sepuluh kali kebaikannya itu. Jika ia berniat mengerjakan kesalahan, maka Aku mengampuninya selagi ia tidak mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakan kesalahan tersebut, maka Aku menulisnya sebagai satu kesalahan yang sama.” (HR. Muslim)

Baca juga: Bahaya Syirik

3. Ikhlas itu sulit, tapi tidak ikhlas itu sakit

Ikhlas memang tidak mudah, tetapi ia adalah syarat diterimanya amal. Sehingga, kita harus terus menerus berusaha melatih dan memperbaiki niat kita agar ikhlas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surat Al-Bayyinah:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah: 5)

Tidak hanya bagi orang awam, bahkan bagi para ulama pun, ikhlas itu tidak mudah. Betapa sulitnya ikhlas hingga Sufyan Ats-Tsauri mengatakan:

مَا عَالَجتُ شَيئًا أَشَدُّ عَليَّ مِن نِيَّتِي لأَنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَليّ

Tidak ada sesuatu yang paling berat untuk saya obati, kecuali masalah niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik dalam diriku.

Namun, jika kita tidak ikhlas, jika kita riya’ atau sum’ah, yang ada adalah penyesalan di akhirat kelak. Sebab amal kita menjadi sia-sia. Sebagaimana nasihat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah:

العَمَلُ بِغَيْرِ اِخْلاَصٍ كَالمُسَافِرِ يَمْلَأُ جِرَابُهُ رَمْلاً يُثْقِلُهُ وَلَا يَنْفَعُهُ

Amal tanpa ikhlas bagaikan musafir yang mengisi kantong perbekalan dengan pasir. Ia berat membawanya, tapi tidak ada manfaatnya.

Baca juga: Makna La Ilaha Illallah

4. Terus melatih dan memperbaiki niat

Meskipun ikhlas itu tidak mudah, kita harus terus menerus berusaha untuk ikhlas. Terus menerus melatih dan memperbaiki niat kita. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala menuntun kita dengan firman-Nya:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-An’am: 162)

Tidak hanya Imam Nawawi yang menjadikan hadits ini sebagai hadits pertama dalam kitabnya baik Arbain Nawawi maupun Riyadhus Shalihin. Imam Bukhari juga menempatkan hadits ini sebagai hadits pertama dalam Shahih Bukhari. Ini menunjukkan, para ulama sangat menjaga niatnya dan semestinya kita juga terus menerus berusaha memperbaiki niat kita.

Selain mengingat keutamaan ikhlas dan bahaya riya’, kita juga perlu mengamalkan doa yang berisi permohonan keikhlasan. Di antaranya dengan doa yang Rasulullah ajarkan:

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئاً نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُهُ

Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari syirik yang kami ketahui dan kami memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak kami ketahui. (HR. Ahmad dan Thabrani; shahih)

Baca juga: Maiyatullah

5. Hijrah pun sia-sia jika niatnya tidak ikhlas

Setelah menjelaskan kaidah umumnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas menyebut hijrah sebagai contoh. Secara etimologi, hijrah (هجرة) artinya meninggalkan. Secara terminologi, hijrah bermakna ‘meninggalkan negeri kafir ke negeri Islam untuk menghindari hal-hal yang buruk. Ada pun yang hijrah dalam hadits ini adalah perpindahan dari kota Makkah ke kota Madinah, sebelum fathu Makkah.

Hijrah saat itu merupakan kewajiban yang memiliki keutamaan dan pahala yang besar. Jika niatnya ikhlas karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika tidak ikhlas, hijrah yang merupakan amal besar dengan pengorbanan luar biasa pun menjadi sia-sia.

Hadits ini menyebutkan dua di antara niat hijrah yang tidak ikhlas. Pertama, li dunya yushiibuhaa, untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Kedua, limra’atin yankihuha, untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahi. Jika niatnya salah satu dari dua hal ini, hijrahnya hanya menuju apa yang ia niatkan itu. Tidak mendapat ridha dan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Imam At-Thabrani meriwayatkan asbabul wurud hadits ini dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Di antara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita bernama Ummu Qais. Namun, wanita itu menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka, laki-laki tersebut ikut hijrah dan menikahinya. Karena itu kami memberinya julukan Muhajir Ummu Qais.”

Betapa hadits dan asbabul wurud ini patut kita renungi. Hijrah yang membuat seseorang meninggalkan harta dan tanah airnya, menempuh perjalanan melelahkan dan berbahaya, tetapi semuanya sia-sia karena bukan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apalagi amal lain yang kesulitan dan pengorbanannya tidak sebesar hijrah. Wallahu ‘alam bish shawab. [Muchlisin BK/Edupro]