Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa membersamai hamba-hamba-Nya. Namun, ada manusia yang hanya mendapatkan kebersamaan Allah (maiyatullah) secara umum dengan pengawasan dan pemberian rezeki. Ada pula yang selain mendapatkan keduanya, juga mendapatkan kebersamaan Allah secara khusus dalam bentuk pertolongan, dukungan, dan pembelaan.

Alangkah luar biasanya ketika kita mendapatkan maiyatullah jenis yang kedua ini. Sebesar apa pun masalah yang kita hadapi dan sedahsyat apa pun rintangan, semuanya menjadi teratasi karena Allah yang akan menolong kita. Bagaimana cara mendapatkan maiyatullah khassah ini?

Maiyatullah Secara Umum

Setiap manusia mendapatkan maiyatullah ammah (kebersamaan Allah secara umum). Dalam artian, Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengawasi manusia dan memberikan rezeki kepada mereka.

Ke mana pun kita pergi, kita akan senantiasa berada dalam pengawasan Allah. Tidak akan pernah bisa lepas dari pandangan-Nya. Tidak akan pernah bisa keluar dari wilayah kekuasaan dan wilayah pengaturan-Nya.

Di mana pun kita berada, dengan siapa pun kita bekerja, Allah senantiasa memberikan rezeki kepada kita. Tidak peduli apakan manusia itu beriman atau kafir, taat atau bermaksiat, bertaqwa atau pendosa, semuanya mendapatkan rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh). (QS. Hud: 6)

Sikap Mukmin

Menyikapi maiyatullah ammah tersebut, orang-orang mukmin menyadari dan merasakan dua hal. Pertama, mereka merasa selalu diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedua, orang-orang beriman menyadari bahwa Allah sangat baik kepada mereka.

Muraqabatullah

Orang mukmin merasa selalu diawasi oleh Allah. Kapan pun, di mana pun. Bersama orang lain maupun sendirian. Termasuk saat bekerja.

يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati. (QS. At-Taghabun: 4)

Karena yakin senantiasa dalam pengawasan Allah, orang-orang mukmin akan selalu berusaha menjalankan apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang Allah larang. Mereka senantiasa berusaha berbuat kebajikan dan menghindari kemaksiatan. Selalu berusaha bekerja secara profesional tanpa tergantung pengawasan dari atasan. Juga menjaga kejujuran meskipun tidak ada orang yang menyaksikan seandainya ia melakukan kebohongan atau kecurangan.

Dalam sebuah perjalanan ke luar kota, Amirul Mukminin Umar bin Khattab bertemu seorang remaja penggembala. Ia menggembalakan kambing yang sangat banyak.

“Kambingmu banyak dan gemuk-gemuk. Bolehkah saya membeli satu ekor saja?” Umar ingin menguji kejujuran penggembala tersebut.

“Ini bukan kambing saya, Tuan. Saya hanya disuruh menggembala saja. Tidak berhak menjualnya.”

“Katakan saja pada tuanmu bahwa salah seekor kambingnya dimakan serigala.”

Anak itu diam sejenak. Ia memandang wajah laki-laki di depannya lalu dengan tegas mengatakan. “Fa’ainallah? Lalu di manakah Allah? Majikan saya memang tidak melihat. Namun, Allah senantiasa melihat hamba-Nya. Dan siksanya sangat keras untuk para pendusta.”

Umar tersentuh mendengar kata-kata itu. Ia mendekap anak itu, bangga dengan kejujurannya. Dikisahkan dalam riwayat yang lain, Umar kemudian minta dipertemukan dengan majikan penggembala itu. Lalu ia memerdekakannya.

Umar bin Khattab juga suka melihat langsung kondisi rakyat dengan cara berkeliling tanpa pengawalan. Pakaian sederhana membuat rakyatnya tidak mengenali bahwa Amirul Mukminin ada di tengah-tengah mereka. Dengan begitu, Umar bisa mengetahui kondisi riil masyarakat tanpa ada rekayasa.

Suatu malam, setelah sekian jam berkeliling bersama Aslam pembantunya, Umar bersandar di sebuah rumah. Tanpa sengaja, terdengar percakapan antara seorang ibu dengan putrinya.

“Nak, campurlah susu itu dengan air agar kita mendapat banyak keuntungan.” Pinta sang ibu.
“Tidak, wahai Ibu. Amirul Mukminin melarang itu.”
“Umar tidak akan tahu. Lagi pula, semua pedagang melakukan itu. Kalau kita tidak melakukannya, kita semakin kesulitan mendapatkan pembeli karena harga susu kita lebih mahal.”
“Ibu, Umar memang tidak mengetahui. Namun, Tuhannya Umar selalu mengetahui.”

Mendengar percakapan itu, Umar meminta Aslam untuk menandai rumah tersebut. Besoknya, Umar meminta salah satu putranya untuk menikahi gadis penjual susu itu. Ashim bin Umar bersedia. Maka, menikahlah Ashim dengan gadis itu. Dari keduanya, lahirlah Ummu Ashim. Dari Ummu Ashim kemudian menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan. Dari keduanya, lahirlah pemimpin legendaris, Umar bin Abdul Aziz.

Ihsanullah

Selain menyadari bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah, orang yang beriman juga merasakan kebaikan Allah yang teramat sangat banyak. Tiada berlalu sedetik pun dalam hidupnya kecuali disertai nikmat-Nya. Tidak berlalu satu satuan waktu pun kecuali ada kemurahan Allah untuknya.

Keyakinan bahwa Allah senantiasa berbuat baik kepada hamba-Nya ini membuat seorang mukmin suka berbuat baik kepada orang lain. Sebagaimana firman-Nya:

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu… (QS. Al-Qashash: 77)

Ayat ini memerintahkan kita untuk berbuat baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kita.

“Artinya, berbuat baiklah kepada sesama makhluk Allah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,” kata Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

“Kebaikan Allah kepada engkau tidaklah terhitung jumlahnya,” tulis Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar. “Sejak bayi engkau dikandung ibu, sampai engkau datang ke dunia. Sejak tidak mempunyai apa-apa, lalu diberi rezeki berlipat ganda. Maka, sudah sepatutnya engkau berbuat baik pula, yaitu al-ihsan.”

Buya Hamka kemudian menjelaskan bahwa ihsan itu ada dua. Yakni ihsan kepada Allah sebagaimana jawaban Rasulullah kepada Jibril saat bertanya tentang ihsan. Beliau bersabda:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya. Jika engkau tidak bisa melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu. (HR. Muslim)

Kedua, ihsan kepada sesama manusia. Yakni membangun hubungan baik dan selalu berbuat baik kepada sesama mulai dari perkataan hingga perbuatan. Singkatnya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik. (HR. Tirmidzi)

Taat kepada Allah

Menyadari pengawasan Allah dan merasakan nikmat-nikmat-Nya membuat seorang mukmin selalu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala kondisi dan di mana pun berada.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan segala amalmu. (QS. Muhammad: 33)

Ketaatan ini merupakan kunci kesuksesan. Sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

…Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia menang dengan kemenangan yang agung. (QS. Al-Ahzab: 71)

Ketaatan kepada Allah didasari oleh keimanan yang kemudian membuahkan amal shalih. Dua hal inilah yang merupakan kunci mendapatkan ridha Allah dan surga-Nya.

إِنَّ اللَّهَ يُدْخِلُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

Sungguh, Allah akan memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (QS. Muhammad: 12)

Sikap Orang-orang Kafir

Sebaliknya, orang-orang kafir tidak merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka juga tidak merasa mendapat nikmat dari Allah. Mereka justru kufur nikmat dan lalai.

Kufur nikmat

Orang yang tidak beriman, mereka tidak mengakui nikmat-nikmat dari Allah. Bahkan mereka kufur nikmat. Tidak pernah bersyukur kepada Allah, bahkan mendustakannya.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim: 7)

Terhadap nikmat-nikmat yang Allah berikan, orang-orang yang kafir menggunakannya untuk bersenang-senang di dunia tanpa bersyukur dan taat kepada-Nya. Mereka memperturutkan hawa nafsu hingga jatuhlah kedudukan mereka di hadapan Tuhan, menjadi seperti binatang, bahkan lebih sesat dari binatang. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ

Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka. (QS. Muhammad: 12)

Lalai

Orang yang tidak beriman, mereka lalai terhadap tujuan hidup di dunia dan lalai terhadap akhirat.

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. (QS. Ar-Rum: 7)

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menjelaskan, “Artinya, kebanyakan manusia tidak memiliki ilmu melainkan hanya yang menyangkut masalah dunia, mata pencahariannya, dan semua urusannya. Mereka benar-benar cerdik dan pandai dalam meraih dan menciptakan berbagai macam pekerjaannya. Sedangkan terhadap perkara-perkara agama dan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka di negeri akhirat nanti, mereka lalai. Seakan-akan mereka kosong pengetahuannya tentang ilmu akhirat, hatinya tidak tergerak terhadapnya, dan pikirannya kosong darinya.”

Hasan Al-Bashri mencontohkan, orang yang sangat mencintai dunia sampai bisa mengatakan dengan persis berapa berat kandungan logam dalam dirham di tangannya sementara dia belum bisa melakukan shalat dengan baik.

Sedangkan menurut Buya Hamka, orang-orang yang lalai terhadap akhirat itu adalah mereka yang umurnya habis hanya untuk urusannya dunia.

Maksiat kepada Allah

Tidak menyadari adanya pengawasan Allah, lalai, dan kufur nikmat membuat orang-orang yang tidak beriman bergelimang dalam kemaksiatan. Mereka berfoya-foya di dunia, menyombongkan diri, dan berbuat fasik.

وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُونَ

Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik”. (QS. Al-Ahqaf: 20)

Kesombongan yang paling besar adalah tidak mau beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan fasik adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, terus menerus berbuat dosa. Bagi orang-orang seperti ini, tempat kembali mereka adalah neraka.

Maiyatullah Khusus

Orang-orang beriman yang taat kepada Allah tidak hanya mendapatkan maiyatullah ammah tetapi juga mendapatkan maiyatullah khassah (kebersamaan Allah secara khusus). Yakni pertolongan Allah, pembelaan, dan dukungan-Nya.

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. An-Nahl: 128)

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di Gua Tsur bersama Abu Bakar ash-Shiddiq, saat itu sebagian orang-orang kafir Quraisy sudah berada di mulut gua. Kaki mereka tampak dari dalam. Saat melihat kaki mereka, Abu Bakar mengatakan kepada Rasulullah, “Seandainya mereka melihat ke bawah, ke arah kita, niscaya mereka akan menemukan kita.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menenangkan Abu Bakar. Beliau mengingatkan bahwa Allah membersamai mereka dengan maiyatullah khassah.

إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita”. Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 40)

Maiyatullah khassah adalah dukungan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman sehingga ketika mereka dimusuhi oleh musuh mereka, Allah yang menolong dan menyelamatkan mereka. Maiyatullah khassah merupakan pembelaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga siapa pun yang akan mencelakai mereka tidak akan bisa menang. Bukankah tidak ada yang memiliki daya dan kekuatan apa pun selain Allah?

Maka, orang-orang yang mendapatkan maiyatullah khassah tentu saja akan mendapatkan kemenangan (al-falah). Pada akhirnya, orang-orang berimanlah yang akan meraih kemenangan dan kesuksesan. Utamanya di akhirat kelak. Banyak juga yang sekaligus di dunia seperti Perang Badar, Perang Ahzab, Futuhnya Makkah, dan sebagainya.  Secara pribadi, mereka mendapatkan keberkahan dalam hidup ini. Juga mendapatkan solusi atas problematika yang mereka hadapi.

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. An-Ankabut: 69)

Dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang mendapat maiyatullah khassah ini adalah mereka yang beriman dan bertaqwa, orang-orang yang sabar, dan orang-orang yang berbuat ihsan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita semua termasuk di dalamnya. [Muchlisin BK/Edupro]

Daftar Pustaka:

  • Asy-Syinawi, Dr. Abdul Aziz. (2014). Biografi Tabi’in & Tabi’iyat. Solo: Zamzam.
  • Ash-Shalabi, Prof. Dr. Ali Muhammad. (2014). Biografi Umar bin Khattab. Jakarta: Beirut.
  • Katsir, Ibnu. (2007). Tafsir Ibnu Katsir Juz 20. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo.
  • Katsir, Ibnu. (2007). Tafsir Ibnu Katsir Juz 20. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo.
  • Hamka, Prof. Dr. (2015). Tafsir Al-Azhar Jilid 6. Depok: Gema Insani.
  • Hamka, Prof. Dr. (2015). Tafsir Al-Azhar Jilid 7. Depok: Gema Insani.
  • Murad, Dr. Musthafa. (2012). Kisah Hidup Umar Ibn Khattab. Jakarta: Zaman.
  • Prayitna, Dr. Irwan. (2002). Ma’rifatullah. Bekasi: Pustaka Tarbiatuna.